DenpasarViral.com, Denpasar – Anak menangis tidak selalu karena rasa sakit akibat terjatuh atau menabrak sesuatu. Anak bisa saja menangis ketika mereka merasa sedih dan frustasi. Apalagi perkembangan emosionalnya belum matang sehingga tidak begitu mengerti tentang perasaan sendiri. Saat sulit untuk mengungkapkan uneg-uneg dengan kata, anak akan ‘meledak’ lewat tangisan.
Terkadang, tangisan anak yang tanpa sebab membuat orangtua tak nyaman. Selanjutnya, ayah dan ibu berusaha menghentikan tangisnya dengan berbagai cara. Padahal, sering melarang si kecil menangis tidak baik untuk perkembangan emosional anak. Berikut dampaknya bila melarang anak menangis.
1. Merasa orangtua menyepelekan dirinya
Ada tipe orangtua yang cenderung mengabaikan atau memarahi anak yang mulai menangis, terutama laki-laki. Sebagian orang tua masih menganggap bahwa anak laki-laki harus menjadi anak yang kuat dan mereka tidak boleh cengeng. Ada juga orang tua yang menekankan bahwa menangis hanya akan buang-buang waktu.
Pada saat ini, anak merasa orangtua menyepelekan apa yang ia rasakan. Padahal, setiap emosi yang muncul dalam diri anak sangat penting. Sebagian orangtua terlalu berfokus pada emosi yang baik. Kemudian, ketika anak menyalurkan emosi buruk lewat tangisan, orang tua akan cenderung mengabaikan atau malah menghentikannya.
2. Menurunkan kepercayaan diri anak
Saat orangtua melarang anak untuk mengekspresikan perasaannya, lama kelamaan tingkat kepercayaan diri si kecil menurun. Mengutip dari Good Therapy, bila orangtua terbiasa melarang anak menangis, ia bisa takut untuk bertemu dengan orang lain. Anak juga bisa menolak bantuan orang lain saat merasa butuh karena takut dianggap lemah dan tidak berdaya.
Efek samping lain adalah anak bisa menyalahkan dirinya sendiri ketika butuh bantuan. Padahal, minta bantuan situasi yang sangat wajar terutama pada anak-anak. Ini karena anak perlu membangun kepercayaan diri sebagai bekal saat ia dewasa nanti.
3. Anak merasa perasaannya sesuatu yang salah
Ketika orangtua sering melarang anak menangis, ia akan merasa bahwa emosi yang ia rasakan merupakan sesuatu yang salah. Anak juga bisa merasa malu setelahnya. Nantinya, anak jadi terbiasa memendam perasaan dan merasa baik-baik saja. Tanpa sadar, anak menekan dirinya sendiri dengan merasa baik-baik saja, padahal ia sedang merasa kebalikannya.
4. Sulit berempati
Manusia memiliki kelebihan daripada makhluk lainnya dalam hal merasakan dan mengekspresikan emosi. Emosi atau luapan perasaan sudah menjadi salah satu bentuk bagi makhluk hidup untuk berkomunikasi. Memisahkannya dari kehidupan akan sangat mustahil.
Saat anak terbiasa tidak boleh menangis untuk mengekspresikan perasaannya, ia akan melakukan hal yang sama pada orang lain. Anak akan sulit atau bahkan bisa kehilangan rasa empati ketika melihat temannya sedih, kecewa, atau menangis.
Emosi memang tidak selalu negatif, ada juga yang positif. Namun, anak yang terbiasa tidak boleh menangis akan menganggap ketakutan dan kemarahan adalah emosi buruk yang harus ia hindari.
Telinga terasa tidak nyaman saat mendengar anak menangis sehingga orangtua cenderung melarang. Namun, menangis memberikan banyak manfaat untuk tubuh.
Saat menangis, tubuh akan mengeluarkan hormon stres dan zat sisa lewat cairan air mata. Selain itu, air mata juga dapat membersihkan kotoran seperti debu dan serpihan sehingga terhindar dari infeksi.
Tubuh menghasilkan hormon kortisol dan adrenalin ketika seseorang sedang merasa sedih atau stres. Kedua zat tersebut dapat meningkatkan detak jantung dan tekanan darah. Jika anak menahan tangis, akibatnya hormon ini membuat dada menjadi terasa sesak. Itu sebabnya anak-anak yang menahan tangis sering merasa kesulitan saat bernafas. Terlalu sering menahan tangis tidak akan membuat perasaan menjadi lebih baik, justru akan menumpuk stres dalam tubuh.
Meski anak boleh menangis, tetap perhatikan hal ini
Sebagai orang tua, Anda tentunya ingin memastikan bahwa anak merasa bahagia. Namun, bukan berarti harus melarang anak menangis dan memaksa untuk melupakan masalahnya.
Membiarkan anak menangis memang baik, tetapi ada kondisi yang membuat orangtua perlu menghentikannya.
1. Melukai orang lain atau diri sendiri
Menangis adalah reaksi yang sangat normal. Namun, kalau sudah melukai diri sendiri atau orang lain, segera hentikan. Orangtua bisa menenangkan anak dengan nada bicara yang tenang tetapi tegas. Tanyakan kepada anak Anda tentang hal yang membuatnya menangis.
Sekonyol apa pun alasannya, tetap dengarkan sampai ia selesai bercerita.
Ayah dan ibu juga bisa mengulang dengan pertanyaan seperti, “Jadi, kamu sedih karena teman nggak mau minjemin mainan?” Hal ini penting agar anak merasa Anda benar-benar memperhatikannya.
Ketika tangisan anak sudah mulai mereda, Anda bisa memberikan solusi yang sekiranya bisa membantu si kecil keluar dari masalah tersebut. Jika si kecil frustasi karena pekerjaan rumah yang sulit, tawarkan bantuan.
Kalau anak kehilangan teman dekat, beri semangat untuk berkenalan dengan lebih banyak teman yang baru. Yakinkan pada anak bahwa menangis adalah hal yang wajar dan semua orang melakukannya. Ayah dan ibu bisa menceritakan pengalaman masa kecil agar membuat anak merasa ada teman.
Setelah itu, peluk anak dan usapan lembut kepalanya agar suasana hati anak menjadi sedikit lebih baik.
2. Perhatian tangisan anak
Sebenarnya, orangtua masih boleh melarang anak menangis, tetapi orangtua perlu memperhatikan setiap perhatian yang ia berikan pada si kecil. Mengutip dari Center for Disease Control and Prevention (CDC), ada dua jenis perhatian, positif dan negatif.
Perhatian positif adalah ketika Anda memberi perhatian pada sikap anak yang menyenangkan. Sementara itu, perhatian negatif adalah saat orangtua memperhatikan anak ketika ia melakukan sesuatu yang tidak Anda sukai.
Ambil contoh, anak sedang bermain balok susun dan membuat rumah atau gedung tinggi, lalu Anda memberikan perhatian dengan pujian. “Wah, gedungnya tinggi sekali!” ini adalah perhatian positif pada anak. Sementara itu, contoh perhatian negatif adalah saat anak bermain balok susun dan mengacak-acak atau melempar balok. “Jangan lempar-lempar, nanti kena kepala!” respons orangtua yang seperti ini adalah perhatian negatif. Alasannya, orangtua baru bereaksi pada sesuatu yang tidak menyebalkan dan mengabaikan saat anak melakukan yang menyenangkan.
Tentu ini akan berdampak pada psikologis anak bahwa ia baru akan mendapat perhatikan dengan tangisan dan merengek. Takutnya, anak jadi terbiasa merengek dan menangis agar mendapat perhatian orangtua tentu tidak baik untuk anak di kemudian hari. (DH/WS/DV).