DenpasarViral.com, Denpasar – Kajeng kliwon pemelastali, Rerahinan Bali ini memiliki makna tersendiri karena kajeng kliwon ini berlangsung dipenghujung wuku yaitu Watugunung hitungan kalender Bali.
Jero Wayan Subrata, pemangku Pura Dalem desa adat Bayad, Kedisan, Tegallalang menyebutkan, total wuku dalam kalender Bali sebanyak 30 wuku.
“ Masing – masing wuku memiliki fungsi tersendiri,”kata Jero Mangku.
Jero Mangku Subrata menjelaskan, nama Watugunung adalah nama wuku terakhir sebelum memasuki kalender Bali yang baru. Hal ini bersumber dari mitologi dan lontar.
Lontar Medang Kemulan, kata Jero Subrata, menjelaskan disebuah kerajaan yang bernama Kundadwipa ada permaisuri yang bernama Dewi Sinta yang melahirkan seorang putra yang kuat yang bernama Watugunung.
Nama ini berawal ketika Dewi Sinta ditinggal suaminya Raja Kulagiri untuk bertapa di Gunung Semeru. Saat ditinggal, Dewi Sinta hamil tua. Selain Dewi Sinta, Sang Raja juga memiliki satu permaisuri lagi yang bernama Dewi Sanjiwartia.
Dalam keadaan hamil, Dewi Sinta hendak menyusul suaminya ke gunung Semeru. Tapi, dalam perjalanan, Sang Dewi keburu melahirkan. Anak laki – laki tersebut ditaruh diatas batu besar. Keanehan terjadi saat bayi tersebut bergerak sendiri dan terjatuh diatas batu lainnya dibawah tempatnya semula.
Ajaibnya, batu yang ditimpa bayi tersebut terbelah dua. Bayi tersebut sama sekali tidak mengalami luka atau kesakitan. Bayi tersebut selanjutnya diberinama Watugunung. Saat itu pula terdengar sabda Dewa Brahma kalau Watugunung akan menjadi anak sakti mandraguna. Dia tidak akan terkalahkan oleh manusia, detya, denawa, raksasa dan dewa. Tapi, dia akan dikalahkan oleh kura-kura perwujudan Dewa Wisnu.
Beberapa tahun setelah dilahirkan, Watugunung tumbuh menjadi anak yang nakal. Selain itu, Watugunung memiliki nafsu makan yang besar. Ibunya kesulitan meladeni nafsu makannya. Hingga Dewi Sinta kehilangan kesabaran dan memukul kepala anaknya dengan sendok dapur hingga berdarah.
Jero Mangku Subrata menambahkan, setelah dipukul, Watugunung pergi meninggalkan rumahnya. Watugunung yang jauh dari didikan istana tumbuh menjadi perampok. Bahkan, semua kerajaan bisa ditaklukan dengan mudah. Bahkan, kerajaan ayahandanya ikut dikalahkan. Watugunung selanjutnya menikahi Dewi Sinta yang tak lain adalah ibu kandungnya.
Sang Ibu mendapat anugerah tetap muda sehingga Watugunung tidak bisa mengenal ibunya. Begitu juga sebaliknya, Sang Ibu tidak mengenali putranya. Hingga suatu ketika Watugunung menyuruh Dewa Sinta mencari kutu dikepalanya. Saat itulah Dewi Sinta kaget karena melihat ada bekas luka dikepala Watugunung. Dewi Sinta mulai mengenali anaknya.
Dewi Sinta yang ingat dengan anugrah Dewa Brahma, kalau Watugunung akan bisa dikalahkan oleh kura – kura titisan Dewa Wisnu menyusun strategi agar bisa lepas dari Watugunung. Sang Dewi minta dicarikan madu Dewi Sri yang tak lain adalah istri Dewa Wisnu.
Dewa Wisnu murka atas keinginan tersebut sehingga menjelma menjadi. kura – kura untuk membunuh Watugunung dengan cakra sudarsananya. Hari yang bertepatan dengan kekalahan Watugunung disebut sebagai Hari Watugunung Runtuh atau Kajeng Kliwon Pemelastali.
“ Pamelas artinya melepaskan. Tali artinya sarana yang mengikat. Jadi artinya melepaskan ikatan,”kata Jero Subrata. Jika digali lebih jauh, demikian Subrata, ikatan yang dilepas adalah widya atau kebodohan. “ Watugunung hanya dipenuhi nafsu. Tidak ada pengetahuan sejati yang dimiliki,” terang Jero Mangku.
Setelah Watugunung kalah dengan Dewa Wisnu, tubuh Watugunung menjadi mayat. Di Bali mayat disebut watang. Sehingga hari Senin Umanis Watugunung disebut Candung Watang. Saat ini ada kepercayaan tidak boleh naik pohon.
Selanjutnya, Selasa Paing Watugunung disebut paid – paidan dimana Dewa Wisnu menyeret tubuh Watugunung.
Keesokan harinya Buda Pon Watugunung disebut Buda Urip karena Watugunung kembali dihidupkan oleh Bhagawan Budha yang minta ijin Dewa Wisnu.
Kamis Wage Watugunung disebut sebagai hari panegtegan atau mengingat segala peristiwa yang pernah dialami Watugunung.
Pada hari Jumat Kliwon, Watugunung menyadari bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah kesalahan yang besar, sehingga ia harus memohon kepada Tuhan agar diberikan pengampunan. Dan, hari itu dikenal dengan sebutan Sukra Pangredanan.
Selanjutnya, Sabtu Umanis puncak dari Wuku Watugunung adalah hari suci Saraswati, pada hari itu diyakini sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan. Disini Watugunung mohon pengetahuan.
“ Kekuatan tanpa kepintaran tidak akan berdampak baik bagi kehidupan. Harus seimbang,” pungkas Jero Subrata. (DH/PA/DV)